Saturday, March 10, 2018

Keragaman Pangan Diabaikan (Headline Kompas Selasa 27 Februari 2018)

JAKARTA, KOMPAS Pengabaian ragam pangan lokal telah mengarahkan Indonesia ke dalam ancaman krisis. Selain ketergantungan pada impor gandum dan beras, beberapa daerah juga teridentifikasi rentan pangan. Kasus gizi buruk dan bencana kesehatan di Asmat, Papua, baru-baru ini bisa jadi alarm adanya masalah pangan ini.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise, kepada Kompas, Senin (26/2), mengatakan, masyarakat Papua, termasuk Asmat, pada masa lalu hidup dengan pangan lokal dari umbi-umbian dan sagu. Namun, semenjak ada program bantuan beras untuk rakyat miskin (raskin) dari pemerintah pada 2003, peralihan konsumsi masyarakat ke beras semakin cepat.
Yohana berpendapat, solusi terbaik untuk mengatasi soal pangan di Papua adalah kembali pada kearifan lokal. ”Masyarakat harus diajak untuk kembali menanam dan menokok sagu, yang justru lebih sehat daripada beras,” katanya.
”Namun, kenyataannya, sagu saat ini diabaikan. Setiap ada pembangunan, termasuk cetak sawah baru yang saat ini gencar dilakukan, juga mengorbankan lahan sagu. Ini, misalnya, terjadi di Lingga, Kepulauan Riau,” kata Bintoro.
Menurut Drajat, pola makan juga terkait dengan aspek budaya. ”Misalnya, di Nusa Tenggara Timur, jagung yang dulu jadi makanan pokok kini identik dengan masyarakat miskin. Kalau mereka punya uang, akan pilih beras. Fenomena ini terjadi di mana-mana karena kebijakan kita selama ini bias beras. Ini tantangan berat untuk mengubah persepsi dan selera masyarakat yang telanjur terbentuk. Dibutuhkan perubahan perilaku konsumen dan juga pengambil kebijakan,” kata Drajat.
(AIK/FRN/FLO/SON)

No comments:

Post a Comment